Catatan Perjalanan :

Keliling Setengah Amerika

 

25.   Mencicipi Sirup Maple Di Vermont

 

Minggu pagi, 9 Juli 2000 di West Lebanon, cuacanya cukup cerah. Segar sekali rasanya udara pagi itu. Kendaraan kami pun dapat melenggang dengan santai tanpa perlu merasa terburu-buru karena arus lalu lintas di kota kecil ini masih terasa sangat sepi. Barangkali penghuninya masih pada malas-malasan keluar rumah. Maklum hari libur.

 

Segera kami akan masuk ke wilayah negara bagian Vermont. Vermont adalah negara bagian terakhir di wilayah New England yang saya kunjungi, setelah sebelumnya ke New Hampshire, Maine, Massachusetts, Rhode Island dan Connecticut.

 

Vermont yang mempunyai nama julukan sebagai “Green Mountain State” dan beribukota di Montpelier merupakan negara bagian ke-21 yang kami kunjungi di hari kesembilan perjalanan kami. Vermont ini dapat dikatakan sebagai negara bagian paling ndeso di Amerika. Maksudnya, wilayah ini umumnya berupa alam pegunungan dan kebanyakan kota-kotanya bersuasana pedesaan jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Amerika. Kota terbesarnya adalah Burlington yang hanya berpenghuni sekitar 50.000 jiwa. Selebihnya tidak banyak kota-kota di Vermont yang komunitasnya padat.

 

Pertanian dan peternakan adalah kehidupan utama masayarakat Vermont. Lebih seperempat wilayah Vermont memang berupa areal perkebunan dan pertanian. Karena itu tidak heran jika PAD (Pendapatan Asli Daerah) Vermont sebagian besar berasal dari pajak tanah dan hasil pertanian. Pohon pinus, maple, apel, buah-buahan lain serta sayur-sayuran adalah diantara hasil utama Vermont, selain hasil peternakan sapi, kambing, babi, kalkun serta jenis unggas lainnya.  

 

Belum jauh kami berjalan, kami melihat ada toko cenderamata yang sudah buka, padahal biasanya toko-toko di Amerika kalau hari Minggu jam bukanya agak siang. Langsung saja kami menepi dan masuk ke toko itu. Saya lihat tidak ada mobil lain yang parkir di sana, berarti kami adalah pengunjung pertama. Siapa tahu dianggap penglaris.

 

Toko ini ternyata cukup luas dan lengkap, segala macam barang cenderamata ada di sana, sehingga malah bingung milih-milihnya. Spontan kami berempat lalu berpencar ke penjuru toko mencari kesukaan masing-masing. Tiba-tiba saya ingat, ada yang khas dari daerah Vermont, yaitu sirup maple. Ini adalah sejenis sirup yang bahannya berasal dari getah pohon maple. Satu jenis pohon yang umumnya tumbuh di daerah timur laut daratan benua Amerika, termasuk Canada.

 

Selain di wilayah New England, hasil sirup maple juga ada di wilayah yang agak ke tengah seperti New York, Pennsylvania, Wisconsin, Michigan, Minnesota dan Ohio. Tapi memang Vermont adalah penghasil sirup maple terbesar di antara negara-negara bagian yang lain. Meskipun sebenarnya masih kalah dibanding Canada sebagai negara produsen sirup maple yang utama di dunia, tepatnya dari wilayah Quebec. Barangkali karena itu maka daun pohon maple yang berbentuk tiga jari daun diabadikan sebagai lambang bendera negara Canada.

 

***

 

Tidak diketahui dengan pasti siapa yang pertama kali menemukan cara menampung dan mengolah getah maple sehingga menjadi sirup. Tetapi ketika mula-mula bangsa Eropa mendarat di Amerika utara dan ketemu dengan penduduk asli Amerika, diceriterakan bahwa suku-suku Indian itu sudah mengkonsumsi getah maple. Umumnya mereka memakan getah maple layaknya makan permen atau gula-gula.

 

Biasanya terjadi saat musim semi (spring) atau sekitar bulan-bulan Pebruari - Maret, dimana suhu malam hari masih di bawah titik beku sedang di siang hari lebih hangat. Getah maple yang menetes dari ranting-ranting pohonnya akan membeku di malam hari, lalu di siang harinya terjadi penguapan hingga tinggal endapan yang mengandung gula tertinggal seperti gumpalan-gumpalan gula.

 

Kini produksi sirup maple dilakukan dengan menampung getahnya sebagaimana cara yang dilakukan untuk menyadap getah karet. Mula-mula melubangi batang pohon yang sudah dewasa lalu ditusukkan semacam pipa dan mengalirkannya ke wadah yang dipasangkan di batang pohonnya. Penyadapan ini mulai dilakukan pada pohon maple yang batangnya sudah berdiameter 25-30 cm. Diperlukan waktu sekitar 30-40 tahun bagi pohon maple untuk mencapai ukuran itu.

 

Dalam periode penyadapan di musim semi yang berlangsung hanya sekitar 4-6 minggu, dari setiap lubang penyadapan dapat dihasilkan sekitar 40 gallon (sekitar 151 liter) getah maple. Setelah dimasak di tempat pemasakan yang disebut dengan sugarhouse nantinya hanya akan dihasilkan sekitar satu gallon (sekitar 3.8 liter) sirup maple murni. Hasil dari pengolahan sirup maple ini dibedakan berdasarkan warna dan rasanya.

 

Ada pedoman standard untuk menentukan kualitas atau grade dari sirup ini. Grade A, yang berwarna kuning kecoklatan adalah kualitas terbaik yang dibedakan dalam light, medium dan dark. Grade B, berwarna lebih pekat dan rasa manisnya lebih tajam. Grade C, berwarna sangat pekat dan biasanya tidak dijual untuk konsumsi umum. 

 

Menilik proses produksinya, maka wajar jika harga jual sirup maple ini relatif mahal. Untuk satu pint (kira-kira hampir setengah liter) sirup murni, dijual dengan harga sekitar US$6.50 untuk grade A - medium. Selain dalam bentuk sirup, getah maple juga diproduksi menjadi gula-gula, krim serta butiran gula.

 

Meskipun bentuknya sirup, namun sirup maple tidak umum diperlakukan sebagai biang sirup yang tinggal mengencerkannya lalu dicampur es batu. Umumnya orang Amerika membeli sirup maple untuk pemanis pancake. Namun sebenarnya sirup ini cocok juga untuk penyedap makan es krim, puding, serta bahan pengganti gula untuk membuat kue.

 

Ada juga cara tradisional makan sirup maple di saat musim semi, yaitu setelah dimasak hingga mendidih lalu dituangkan di atas salju yang bersih (saat musim semi di belahan utara Amerika biasanya masih banyak timbunan salju), maka sirup akan menggumpal menjadi seperti lilin dan lalu dimakan sebagai gula-gula.

 

***

 

Agak lama saya membolak-balik beberapa macam botolan sirup maple yang dipajang di toko. Saya sempatkan juga untuk banyak bertanya kepada seorang ibu agak tua yang jaga toko. Eh …, lha kok malah si ibu tadi kemudian mengambil satu botol lalu dibukanya, lalu dituangkan ke dalam sloki kecil dan disuruhnya saya mencicipi sirup maple.

 

Weh…., huuuenak tenan (enak benar). Yang saya maksud enak adalah aromanya khas, rasanya manis, kental seperti madu. Rasanya ya seperti minum madu. Jadi, kategori enak ini adalah karena saya belum pernah mencicipi sirup ini sebelumnya. Kalau kemudian saya memutuskan membeli sebotol sirup maple sebenarnya bukan saja karena rasa enaknya, tapi juga karena saya suka dengan bentuk botol atau wadahnya yang menarik.

 

Botolnya yang sebenarnya terbuat dari bahan plastik tetapi didesain seperti botol antik dengan warna seperti keramik. Kok enak dilihat dan saya amat-amati kok tampak berkesan seperti benda seni.  

 

Ingatan saya lalu melayang ke Yogya, di sana ada gudeg kendil. Kalau seandainya kendilnya dibuat desain khusus yang lebih artistik dan menarik, rasanya akan lebih memikat calon pembeli gudeg karena ada nilai tambah berupa kendil yang nyeni (artistik). Bukan sekedar kendil sebagai wadah yang alih-alih mau dipajang, wong mau digunakan untuk memasak saja sepertinya “enggak janji”. Kalaupun gudegnya kurang enak, paling tidak pembeli yang datang dari jauh tidak terlalu kecewa mempunyai kendil yang khas dan bernilai seni dari Ngayogyakarta.

 

Di Kediri, saya pernah membeli bubuk kopi jahe yang juga dikemas dalam wadah seperti cepuk (tempat perhiasan) yang khas dan menarik. Di Kudus, dulu ada jenang yang kemasannya berupa anyaman daun yang berbentuk seperti slepi (dompet kecil). Tapi sayang desainnya kurang menarik dan terkesan asal bisa untuk wadah menyelipkan jenang.

 

Memang tidak ada yang salah dengan kendil, cepuk atau slepi. Mungkin karena masyarakat kita belum rela membeli nilai tambah, sehingga belum dianggap perlu pernik-pernik yang hanya akan menambah biaya produksi. Yang penting ya asal ada wadahnya. Orang toh kepingin membeli gudegnya, bukan kendilnya.

 

Jika demikian halnya, mestinya boleh kalau saya berniat membeli gudeg kendil lalu bilang : “tidak usah pakai kendilnya karena saya membawa wadah sendiri”. Apa ya kira-kira harga gudegnya akan lebih murah? Atau malah akan dijawab : “mbok Sampeyan ndamel gudeg piyambak mawon” (bagaimana kalau Anda membuat gudeg sendiri saja). Malah lebih murah lagi ……., tapi ya “embuh rasane” (entah rasanya seperti apa).

 

Padahal dalam masayarakat kita ada kalangan tertentu yang sudah siap dan rela membeli nilai tambah. Rasanya sayang kalau potensi ekonomi itu tidak ditangkap. Atau, belum ada yang menunjukkan caranya menangkap?- (Bersambung)

 

 

Yusuf Iskandar

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]